SILATURRAHIM PESANTREN (2):
PONDOK PESANTREN MODERN AL-AQSHO BLITAR


Alhamdulillah pada hari Senin (5/9/2020), YPS El-Haq kembali melakukan kunjungan silaturrahim ke salah satu pesantren yang ada di kota Blitar yaitu Pondok Pesantren Modern Al-Aqsho. Kunjungan ini merupakan rangkaian dari kunjungan ke beberapa pesantren yang dinilai memiliki ‘keunikan’ di dalam pengelolannya. Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu YPS El-Haq telah bersilaturrahim ke Pondok Pesantren Modern Al Furqon Bangil. Insya Allah, pada kesempatan yang akan datang silaturrahim akan dilanjutkan ke Ma’had Tahfidzul Qur’an (MTQ) Isy Karima.

Pondok Pesantren Modern Al-Aqsho didirikan oleh Al-Ustadz Hadi Mukhlison pada tahun 1986. Beliau merupakan alumni Gontor tahun 1984. Pesantren yang beralamat di desa Jatitengah, kecamatan Selopuro, kabupaten Blitar ini didirikan setelah mendapat restu dari salah satu pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, yaitu KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA.

“Sewaktu saya akan melanjutkan kuliah ke Al-Azhar, saya izin terlebih dahulu ke pak yai. Namun beliau tidak mengizinkan dan meminta saya untuk tetap berada di tanah air saja dan mendirikan pesantren. Seiring berjalannya waktu, saya menemukan jawabannya. Yakni, hikmahnya saya dapat fokus di pesantren,” ujar beliau.

Ustadz Hadi menceritakan bahwa pesantren yang beliau dirikan tidak memiliki gedung sama sekali. Bahkan juga belum memiliki guru karena santri baru sedikit jumlahnya.

“Saya sendiri tidak punya gedung, ya rumah ini yang dipakai. Malahan juga pinjam rumah tetangga, digunakan untuk kelas. Trus saya sendiri yang mengajar, bergantian dengan kelas satu yang satu dengan kelas yang lain. Seperti shift gitu, dan tiap jam berganti mulai dari kelas satu dan seterusnya. Dan saya lakukan seorang diri, single fighter. Sampai murid anak-anak juga bosan melihat saya setiap hari,” jelas beliau.

Menginjak usia pesantren yang ke-34 tahun, kini Al-Aqsho sudah memiliki santri berjumlah kurang lebih 100 orang. Jikalau dulu ustadz Hadi harus berjibaku sendirian untuk mengajar, kini tenaga pengajar sudah banyak dan mayoritas berasal dari alumni Al-Aqsho sendiri yang sudah melanjutkan kuliah baik di dalam maupun luar negeri. Beliau juga menyampaikan bahwa salah satu faktor jumlah santrinya tidak bertambah secara signifikan karena pesantren yang beliau pimpin belum mengikuti program muadalah (penyetaraan ijazah).

“Alhamdulillah kita ini sekarang yang kita andalkan dari alumni sendiri dan ada dari Gontor juga tapi sedikit. Hampir selama 30 tahun tidak pernah ikut ujian pemerintah. Yang dulunya ada sepuluh wali santri mendaftar, namun tujuh santri mundur, sehingga yang jadi mondok sekitar tiga anak. Hal ini berkaitan dengan ijazah yang akan didapat ketika anaknya mondok di sini. Dan setelah pondok ini ijazahnya ngikut dengan pondok Darul Istiqomah Banyuwangi pendaftaran santri berbanding terbalik dengan dahulunya. Dari sepuluh santri yang mendaftar, hanya satu santri yang mundur,” ucap beliau.

Walaupun jumlah santrinya tidak begitu banyak, namun kiprah alumni Al-Aqsho patut diapresiasi. Menurut ustadz Hadi, sudah banyak alumni pesantrennya yang kini mendirikan pesantren di daerahnya masing-masing. Bahkan jika ada santri yang melanggar, maka akan dikirim ke pondok alumninya untuk diberikan tugas.

“Ketika ada santri yang melanggar aturan pondok, kita tidak langsung mengeluarkan santri tersebut. Padahal tujuan dari orangtua santri, menitipkan di pondok agar bisa berubah lebih baik. Kemudian, dalam menghadapi anak tersebut, maka kita beri binaan dengan memindahkan anak tersebut ke tempat lain atau ke pondok alumni. Kemudian kita beri amanah untuk mengajar di tempat tersebut, atau beri tugas menghafal beberapa hadist. Bisa jadi di tempat ini santri sering melanggar, namun di tempat lain ia dapat berubah lebih baik lagi,” ujar beliau.

Ustadz Hadi mengungkapkan bahwa salah satu kunci sukses kiprah alumninya yaitu karena selama mereka di pesantren, mereka tidak hanya mendapatkan pelajaran dalam kelas saja, namun mereka juga mendapatkan kemampuan berbahasa Arab dan Inggris dan Tahfidzul Qur’an. Selain itu para santri juga dibekali ketrampilan membuat batako, meja, kursi dan almari.

Untuk program Tahfidzul Qur’an, Pondok Modern Al Aqsho memiliki program menghafal enam juz. Ada santri yang memiliki hafalan melebihi target, namun ada juga yang tidak mampu mencapai target tersebut.

“Target rendah, namun capaian tinggi dari pada target tinggi, namun capaian rendah. Hal ini berkaitan dengan target yang tinggi, maka akan membuat anak nerveus dan berdampak pada mata pelajaran yang lainnya. Sebaliknya, dengan target rendah dan hasilnya capaian tinggi membuat anak-anak merasa enjoy, tidak banyak tertekan sehingga ada yang mampu mencapai dua puluh juz,” jelas beliau.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Yayasan Pendidikan dan Sosial (YPS) El-Haq, Ust. H. Ainur Rofiq, Lc, menyampaikan bahwa silaturrahim ini dilakukan sebagai persiapan untuk mendirikan Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an. Oleh karenanya, dengan bersilaturrahim diharapkan bisa mendapatkan gambaran tentang bentuk pesantren yang akan didirikan nanti.

“Adanya pandemi seperti ini, tidak bisa diprediksi sampai kapan akan berakhir. Setelah saya berfikir, sepertinya ini momentum yang cocok untuk mendirikan sebuah pesantren. Insya Allah ada dua tempat yang sudah kami persiapkan. Gambaran awal saya, pesantren putra ada di Wonosalam dan yang putri ada di Ngoro, Jombang,” ujar beliau.

Demikian laporan singkat tentang kunjungan silaturrahim ke Pondok Pesantren Modern Al-Aqsho Blitar. Semoga bisa memberikan manfaat bagi kita semua dan ukhuwah islamiyah di antara kita senantiasa tetap terjaga. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *